Tuesday 19 August 2008

Sejarah Guan Yin

Kwan Im Pho Sat / Guan Yin Phu Sa / Kwan Si Im Pho Sat / Guan Shi Yin Phu Sa (Tiongkok) / Avalokitesvara Bodhisatva (Lokeshvara, Sansekerta) / Spyan ras gizgs (Tibetan) / Kannon Bosatsu (Kanjizai / Kanzeon / Kwannon, Jepang) & Quan Am (Vietnam)

Jauh sebelum masuknya agama Budha menjelang akhir Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi Berbaju Putih Yang Welas Asih (ewi Welas Asih�). Di kemudian hari, Beliau identik dengan perwujudan dari Budha Avalokitesvara. Secara absolut, pengertian Avalokitesvara Bodhisatva dalam bahasa Sansekerta adalah : valokita� (Kwan / Guan / Kwan Si / Guan Shi) yang bermakna Melihat ke Bawah atau Mendengarkan ke Bawah. awah� disini bermakna ke dunia, yang merupakan suatu alam (lokita). svara� (Im / Yin), berarti suara. Yang dimaksud adalah suara dari makhluk-makhluk yang menjerit atas penderitaan yang dialaminya. Oleh sebab itu Kwan Im adalah Bodhisatva yang melambangkan kewelas-asihan dan penyayang. Di negara Jepang, Kwan Im Pho Sat terkenal dengan nama Dewi Kanon. Dalam perwujudanNya sebagai pria, Beliau disebut Kwan Sie Im Pho Sat. Dalam Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biauw Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 (tiga puluh) penjelmaan Kwan Im Pho Sat. Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Tay Pi Ciu / Ta Pei Cou / Ta Pei Shen Cou) ada 84 (delapan puluh empat) perwujudan Kwan Im Pho Sat sebagai simbol dari Bodhisatva yang mempunyai kekuasaan besar. Altar utama di Kuil Pho Jee Sie (Pho To San) di persembahkan kepada Kwan Im Pho Sat dengan perwujudan sebagai udha Vairocana�, dan di sisi kiri atau kanan berjajar 16 (enam belas) perwujudan lainnya. Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie*), salah satu Kelenteng tertua di Indonesia adalah King Cee Koan Im (Koan Im Membawa Sutra Memberi Pelajaran Buddha Dharma Kepada Umat Manusia. Disamping itu, terdapat pula wujud Kwan Im Pho Sat dalam Chien Chiu Kwan Im / Jeng Jiu Kwan Im / Qian Shou Guan Yin. (Kwan Im Seribu Lengan / Tangan) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umatNya. Julukan Beliau secara lengkap adalah Tay Cu Tay Pi, Kiu Kho Kiu Lan, Kong Tay Ling Kam, Kwan Im Sie Im Pho Sat.
Sejarah Klasik Seputar Avalokitesvara Bodhisatva.
Ketika agama Budha memasuki Tiongkok (Masa dinasti Han), pada mulanya Avalokitesvara Bodhisatva bersosok pria. Seiring dengan berjalannya waktu, dan pengaruh ajaran Taoisme serta Khong Hu Cu, menjelang era Dinasti Tang, profil Avalokitesvara Bodhisatva berubah dan ditampilkan dalam sosok wanita. Dari pengaruh ajaran Tao, probabilita perubahan ini terjadi karena jauh sebelum mereka mengenal Avalokitesvara Bodhisatva, kaum Taois telah memuja Dewi Tao yang disebut iang-Niang� (Probabilitas adalah Dewi Wang Mu Niang-Niang). Sehubungan dengan adanya legenda Puteri Miao Shan yang sangat terkenal, mereka memunculkan tokoh wanita yang disebut uan Yin Niang Niang�, sebagai pendamping Avalokitesvara Bodhisatva pria.
Lambat laun tokoh Avalokitesvara Bodhisatva pria dilupakan orang dan tokoh Guan Yin Niang-Niang menggantikan posisiNya dengan sebutan Guan Yin Phu Sa. Dari pengaruh ajaran Khong Hu Cu, mereka menilai kurang layak apabila kaum wanita memohon anak pada seorang Dewata pria. Bagi para penganutnya, hal itu dianggap sesuai dengan keinginan Kwan Im sendiri untuk mewujudkan diriNya sebagai seorang wanita, agar lebih leluasa untuk menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolonganNya. Dari sini jelas bahwa tokoh Avalokitesvara Bodhisatva berasal dari India dan tokoh Guan Yin Phu Sa berasal dari Tiongkok. Avalokitesvara Bodhisatva memiliki tempat suci di gunung Potalaka, Tibet, sedangkan Kwan Im Pho Sat memiliki tempat suci di gunung Pu Tao Shan di kepulauan Zhou Shan, Tiongkok. Kesimpulan atas hal ini adalah tokoh Avalokitesvara Bodhisatva merupakan stimulus awal munculnya Kwan Im Pho Sat. Terdapat beberapa legenda lainnya terkait tentang asal-usul Dewi Kwan Im. Dalam kitab Hong Sin Yan Gi / Hong Sin Phang (enganugerahan Dewa�) disebutkan bahwa sebelum Beliau dikenal dengan sebagai Dewi Kwan Im, Beliau bernama Chu Hang salah 1 (satu) murid dari Cap Ji Bun Jin (12 Murid Cian Kauw Yang Sakti).

Selain itu, menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada jaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 SM terkait dengan legenda Puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang Penguasa Negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad III SM. Disebutkan bahwa Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak lelaki, tapi yang dimilikinya hanyalah 3 (tiga) orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu (Biao Yuan), yang kedua bernama Miao Yin (Biao In) dan yang bungsu bernama Miao Shan (Biao Shan). Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Beliau malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhiksuni di Kelenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan). Berbagai cara diusahakan oleh Raja Miao Zhuang agar puterinya mau kembali dan menikah, namun Puteri Miao Shan tetap bersiteguh dalam pendirianNya. Pada suatu ketika, Raja Miao Zhuang habis kesabarannya dan memerintahkan para prajurit untuk menangkap dan menghukum mati sang puteri. Setelah kematianNya, arwah Puteri Miao Shan mengelilingi neraka. Karena melihat penderitaan makhluk-makhluk yang ada di neraka, Puteri Miao Shan berdoa dengan tulus agar mereka berbahagia. Secara ajaib, doa yang diucapkan dengan penuh welas asih, tulus dan suci mengubah suasana neraka menjadi seperti surga.
Penguasa Akherat, Yan Luo Wang, menjadi bingung sekali. Akhirnya arwah Puteri Miao Shan diperintahkan untuk kembali ke badan kasarNya. Begitu bangkit dari kematianNya, Budha Amitabha muncul di hadapan Puteri Miao Shan dan memberikan Buah Persik Dewa. Akibat makan buah tersebut, sang Puteri tidak lagi mengalami rasa lapar, ke-tuaan dan kematian. Budha Amitabha lalu menganjurkan Puteri Miao Shan agar berlatih kesempurnaan di gunung Pu Tuo, dan Puteri Miao Shan-pun pergi ke gunung Pu Tuo dengan diantar seekor harimau jelmaan dari Dewa Bumi.
9 (Sembilan) tahun berlalu, suatu ketika Raja Miao Zhuang menderita sakit parah. Berbagai tabib termasyur dan obat telah dicoba, namun semuanya gagal. Puteri Miao Shan yang mendengar kabar tersebut, lalu menyamar menjadi seorang Pendeta tua dan datang menjenguk. Namun terlambat, sang Raja telah wafat. Dengan kesaktianNya, Puteri Miao Shan melihat bahwa arwah ayahNya dibawa ke neraka, dan mengalami siksaan yang hebat. Karena rasa bhaktiNya yang tinggi, Puteri Miao Shan pergi ke neraka untuk menolong. Pada saat akan menolong ayahNya untuk melewati gerbang dunia akherat, Puteri Miao Shan dan ayahNya diserbu setan-setan kelaparan. Agar mereka dapat melewati setan-setan kelaparan itu, Puteri Miao Shan memotong tangan untuk dijadikan santapan setan-setan kelaparan. Setelah hidup kembali, Raja Miao Zhuang menyadari bahwa bhakti ketiga putrinya sangat luar biasa. Akhirnya sang Raja menjadi sadar dan mengundurkan diri dari pemerintahan serta bersama-sama dengan keluarganya pergi ke gunung Xiang Shan untuk bertobat dan mengikuti jalan Budha. Rakyat yang mendengar bhakti Puteri Miao Shan hingga rela mengorbankan tanganNya menjadi sangat terharu. Berbondong-bondong mereka membuat tangan palsu untuk Puteri Miao Shan. Budha O Mi To Hud yang melihat ketulusan rakyat, merangkum semua tangan palsu tersebut dan mengubahNya menjadi suatu bentuk kesaktian serta memberikannya kepada Puteri Miao Shan. Lalu Ji Lay Hud memberiNya gelar Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Phu Sa, yang artinya Bodhisatva Kwan Im Penolong Kesukaran Yang Bertangan Dan Bermata Seribu Yang Tiada Bandingnya. Dalam kisah lain disebutkan bahwa pada saat Kwan Im Phu Sa diganggu oleh ribuan setan, iblis dan siluman, Beliau menggunakan kesaktianNya untuk melawan mereka. Beliau berubah wujud menjadi Kwan Im Bertangan dan Bermata Seribu, dimana masing-masing tangan memegang senjata Dewa yang berbeda jenis. Kisah Kwan Im Lengan Seribu ini juga memiliki versi yang berbeda, diantaranya adalah pada saat Puteri Miao Shan sedang bermeditasi dan merenungkan penderitaan umat manusia, tiba-tiba kepalanya pecah berkeping-keping. Budha O Mi To Hud (Amitabha) yang mengetahui hal itu segera menolong dan memberikan eribu Tangan dan Seribu Mata, sehingga Beliau dapat mengawasi dan memberikan pertolongan lebih banyak kepada manusia.

Sejarah Guan YU

Sebagian besar orang bisa saja tidak mengenal nama Bodhisattva Sangharama, tetapi begitu melihat citra rupang seorang jendral gagah perkasa dengan jenggot panjang indah bergemulai dan paras muka merah lebam berkilau, maka mereka pasti akan langsung tahu. Ya, Bodhisattva Sangharama adalah Guan Yu alias Guan Gong (Kwan Kong).

Siapa tidak tahu Guan Yu? Banyak orang mengetahuinya dari cerita Sam Kok (Kisah Tiga Negara) dan game Dynasty Warrior. Namun, tahukah kita bagaimana latar belakang Guan Yu hingga dinobatkan sebagai Dharmapala (Pelindung Dharma) dalam tradisi Mahayana Tiongkok?

Guan Yu (160 - 219 M), alias Yun Chang, lahir pada tanggal 24 bulan 6 Imlek, adalah penduduk asal Jiezhou, Hedong (sekarang Yuncheng, Propinsi Shanxi). Sejak kecil dididik dalam bidang kesusastraan dan sejarah. Beliau sangat menggemari kitab sejarah Chunqiu (Musim Semi dan Gugur) dan Zuozhuan (kitab sejarah karya Zuo Qiuming). Guan Yu memiliki 3 anak: Guan Ping, Guan Xing dan Guan Suo.
Salah satu watak istimewa yang dimiliki Guan Yu adalah jiwa setia dan ksatria, beliau berani membela yang lemah dan tertindas. Tahun 184, Guan Yu melarikan diri dari kampung halamannya setelah membunuh orang demi membela kaum lemah. Beliau menuju wilayah Zuo, kemudian berkenalan dengan Liu Bei dan Zhang Fei. Liu Bei adalah anggota keluarga Kaisar Kerajaan Han yang sedang merekrut prajurit untuk membasmi pemberontakan Serban Kuning. Karena memiliki cita-cita yang sama, maka mereka bertiga menjalin tali persaudaraan yang dikenal dengan sebutan Tiga Pertalian Setia di Taman Bunga Persik. Semenjak itu, mereka bertiga berkomitmen sehidup semati memperjuangkan cita-cita penegakan hukum demi membersihkan Kerajaan Han dari gerogotan korupsi dan pengkhianatan.

Namun Kerajaan Han yang telah berdiri kokoh selama 400 tahun itu akhirnya terpecah menjadi 3 kerajaan, yang mana Liu Bei sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan menyatakan diri sebagai penerus Dinasti Han. Era inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan San Guo (Sam Kok - Tiga Negara). Perjuangan keras tiga bersaudara Taman Bunga Persik untuk mempersatukan Tiongkok tidak berhasil. Begitulah hingga usia 60 tahun, Guan Yu bersama putranya, Guan Ping, akhirnya gugur dalam pertempuran.

Meskipun demikian, rasa hormat terhadap Guan Yu tidak serta merta lenyap seiring dengan gugurnya pahlawan berparas merah lebam ini. Keberanian, kesetiaan dan jiwa ksatria beliau menjadi kisah harum dalam masyarakat Tionghoa selama turun temurun. Selain itu, dalam kalangan spiritual, dikenal pula kisah perjodohan Guan Yu dengan ajaran Buddha, sebuah ajaran kebenaran sejati yang menembus kepekatan misteri dimensi ruang dan waktu. Ya, Guan Yu menjadi siswa Buddha setelah beliau gugur.

Awal Mula Sebagai Pelindung Dharma
Kisah berikut ini terjadi beberapa ratus tahun setelah gugurnya Guan Yu. Berdasarkan catatan sejarah Buddhis - Fozhu Tongji, pada tahun 592 M, (Dinasti Sui, era Kai Huang ke-12), disebutkan bahwa pada suatu malam, langit tiba-tiba menjadi cerah, bulan terlihat jelas sekali, Guan Yu bersama Guan Ping dan sekelompok makhluk gaib muncul di hadapan Master Tripitaka Zhiyi (pendiri aliran Tiantai Tiongkok) yang sedang bermeditasi di Bukit Yuquan. Guan Yu berkata, “Saya Guan Yu dari era akhir Dinasti Han. Ini adalah putra saya, Guan Ping. Kami terus berkelana setelah meninggal. Yang Arya, dengan tujuan apakah anda datang ke sini? Master Zhiyi menjawab, “Aku datang ke sini untuk mendirikan vihara.”

Guan Yu menjawab, “Yang Arya, izinkanlah kami untuk membantumu. Tidak jauh dari sini, terdapat lahan yang kokoh tanahnya. Saya dan putra saya dengan senang hati akan membangun vihara di sana untuk anda. Mohon lanjutkan meditasinya, vihara akan selesai dalam waktu 7 hari saja.” Setelah Master Zhiyi selesai bermeditasi, terlihat sebuah vihara yang sangat indah muncul persis di tempat yang ditunjukkan oleh Guan Yu. Vihara itu kemudian diberi nama Vihara Yuquan.

Suatu hari Guan Yu datang ke Vihara Yuquan untuk mendengarkan Master Zhiyi membabarkan Dharma, setelah itu beliau memohon untuk dapat menjadi siswa Buddha dengan menerima Trisarana dan Panca Sila Buddhis. “Aku sangat beruntung mendapat kesempatan mendengarkan Dharma dan beraspirasi mempraktikkan Jalan Bodhi (pencerahan) mulai dari sekarang. Mohon izinkanlah saya untuk menerima Sila dari Anda,” demikian ucap Guan Yu kepada Master Zhiyi. Master Zhiyi kemudian membangun sebuah kuil untuk Guan Yu di sebelah barat daya vihara. Sebuah batu ukiran yang bertajuk tahun 820 M di Vihara Yuquan mengisahkan tentang pertemuan antara Guan Yu dan Zhiyi tersebut.

Selain kisah di atas, ada satu versi lain tentang kisah bagaimana Guan Yu menjadi seorang pemeluk agama Buddha. Dikatakan bahwa pada suatu malam Guan Yu menemui Bhiksu Zhikai, murid dari Tiantai Master Zhiyi, dan menerima Trisarana dari Bhiksu Zhikai. Kemudian Bhiksu Zhi Kai melaporkan perjumpaan dengan Guan Yu tersebut kepada Yang Guang, Pangeran Jin (yang kelak akan dikenal sebagai Kaisar Sui – Yang Di). Pangeran Yang Guang memberikan Guan Yu gelar “Sangharama Bodhisattva”. Itulah asal muasal dari mana gelar Sangharama diberikan kepada Guan Yu.

Pada kisah lainnya, seperti dalam Catatan Kisah Tiga Negara (San Guo Yan Yi), Guan Yu muncul di hadapan Bhikshu Pujing di malam saat gugur karena dipenggal oleh pihak Sun Quan, Raja Wu. Tubuhnya dikubur di dekat Bukit Yuquan yaitu di Jingzhou. Di sela-sela kegalauan atas kehilangan kepala, raga halus Guan Yu bergentayangan mencari kembali kepalanya. Bhiksu Pu Jing dengan kekuatan batinnya melihat Guan Yu turun dari angkasa menunggang kuda sambil menggenggam golok besar Naga Hijau, bersama dengan 2 pria, Guan Ping dan Zhou Cang. Semasa hidupnya saat dalam pelarian dari kubu Cao Cao, Guan Yu pernah ditolong oleh Pujing di Vihara Zhen-guo. Lalu Bhiksu Pujing memukul pelana kuda dengan kebutan cambuknya seraya berkata, “Di mana Yun Chang?” Seketika itu juga Guan Yu tersadarkan.

Guan Yu kemudian memohon petunjuk untuk dapat terbebas dari kegelapan pengembaraan batin. Pujing memberi nasehat, “Dulu salah atau sekarang benar tak perlu dipersoalkan lagi, karena terjadi pada saat sekarang tentunya ada sebab pada masa lalu.” Pujing lalu melanjutkan, “Sekarang engkau meminta kepalamu, menuntut atas kematianmu di tangan Lu Meng, namun kepada siapa Yan Liang, Wen Chou dan penjaga lima perbatasan serta banyak lagi lainnya yang telah kau bunuh, meminta kembali kepala mereka?” Kata-kata Pujing itu terasa sangat menyentak.

Setelah tersadarkan dari kegalauannya, Guan Yu lalu menjadi pengikut Buddhis. Sejak itu Guan Yu sering muncul melindungi masyarakat di sekitar Bukit Yuquan. Sebagai rasa terima kasih kepada Guan Yu, para penduduk membangun vihara di puncak Bukit Yuquan.

Gubuk rumput tempat tinggal Pujing kemudian dibangun menjadi Vihara Yuquan. Vihara Yuquan ini didirikan pada abad ke-6 M dan di dalamnya ada aula Sangharama. Ini adalah salah satu tempat pemujaan Guan Yu yang tertua, juga merupakan vihara tertua di Dangyang. Tempat penampakan raga halus Guan Yu ditandai dengan sebatang pilar batu yang bertuliskan: “Di sini tempat Guan Yun Chang dari Dinasti Han menampakkan diri.” Pilar batu itu adalah hadiah dari kaisar Wan Li masa Dinasti Ming dan masih bisa dilihat sampai sekarang.

Dalam Sutra Saptabuddha Ashtabodhisattva Maha Dharani Sutra (Sutra tentang Mantra Sakti Mahadharani yang dibabarkan 7 Buddha dan 8 Bodhisattva) tercatat bahwa ada 18 Sangharama (Qielan Shen) sebagai pelindung lingkungan vihara, yaitu: Meiyin, Fanyin, Tian’gu, Tanmiao, Tanmei, Momiao, Leiyin, Shizi, Miaotan, Fanxiang, Renyin, Fonu, Songde, Guangmu, Miaoyan, Cheting, Cheshi, dan Bianshi.

Guan Yu sendiri bukanlah sosok yang tercatat dalam Sutra Mahayana sebagai Sangharama. Term Sangharama sendiri mengandung pengertian sebagai tempat tinggal anggota Sangha, atau lebih umum dikenal sebagai vihara. Secara etimologi, istilah Sangharama telah dikenal sejak masa kehidupan Buddha. Selain 18 dewa Sangharama yang telah disebutkan di atas, dua tokoh yang dianggap sebagai pelindung utama Sangharama adalah Anathapindika dan Pangeran Jeta, penyokong Vihara Jetavanarama pada masa kehidupan Buddha.

Secara kualitatif, Guan Yu memiliki pengabdian yang setara dengan para Pelindung Sangharama, pun karena memiliki komitmen yang besar untuk melindungi lingkungan vihara, maka tidaklah mengherankan bila kemudian diapresiasi secara khusus oleh Mahayana Tiongkok sebagai Bodhisattva Sangharama. Ada juga yang menyebut sebagai Bodhisattva Satyadharma Kalama.

Di kalangan Mahayana Tiongkok, Guan Yu sering ditampilkan berdiri berpasangan dengan Dharmapala Veda (Weituo Pusa) yang juga merupakan Pelindung Dharma. Keduanya mendampingi rupang Buddha atau Avalokitesvara.

Pemujaan Guan Yu Hingga ke Tibet
Pemujaan Guan Yu juga meluas sampai ke Tibet (terutama di aliran Gelugpa dan Nyingmapa). Altar beliau ada di vihara-vihara Tibet, seperti Mahavihara Tsurphu, sejak kunjungan Maha Ratna Dharmaraja Karmapa V ke Tiongkok atas undangan Kaisar Yong Le. Dulu di Tibet, Guan Yu sebagai Sangharama dikenal dengan nama Karma Hansheng.

Di Tibet dan Mongolia, pemujaan Guan Di (Dewa Guan Yu) diasosiasikan sebagai Raja Gesar dari Ling yang dikenal merupakan emanasi Guru Padmasambhava. Pengasosiasian tersebut dimulai sejak zaman Dinasti Qing (Manchu). Lobsang Palden Yeshe, Panchen Lama ke-6 (1738 - 1780 M) adalah yang pertama kali mengatakan bahwa Guan Di adalah Gesar. Oleh karena itu Guan Di Miao (Kuil Guan Gong) di Lhasa disebut juga dengan nama Gesar Lhakhang. Ada juga yang percaya bahwa Guan Di dan Gesar adalah inkarnasi masa lalu dari Panchen Lama.

Guan Gong dipandang sebagai Dewa Pelindung Dinasti Qing, sedangkan Vajrayana Buddhis sekte Gelug adalah agama yang dianut anggota kerajaan Dinasti Qing. Demikianlah Guan Gong (Yang Mulia Guan Yu) dihormati baik oleh kalangan Mahayana maupun Vajrayana (Tantrayana) sebagai Bodhisattva Dharmapala (Pelindung Dharma). Bahkan dalam kepercayaan masyarakat, diyakini Guan Gong kelak akan menjadi seorang Buddha bernama Ge Tian (Ge Tian Gu Fo).

Pemujaan di Kalangan Umat Tao dan Kong Hu Cu
Pemujaan Guan Yu juga luas di kalangan umat Tao dan Konghucu sebagai Guansheng Dijun, Guan Gong, dan Guan Di. Penghormatan ini tampak nyata sekali di banyak kelenteng. Sejak Dinasti Song para Taois memuja Guan Yu sebagai Dewata Pelindung Malapetaka Peperangan, sedang umat Konghucu menghormati sebagai Dewa Kesusasteraan - Wenheng Dadi.

Pemujaan Guan Gong mulai meluas di kalangan Taois pada abad ke 12 M. Menurut sejarawan Boris Riftin dan Barend J. Ter Haar, pemujaan Guan Yu di kalangan Buddhis lebih awal daripada di kalangan Taois.

Pemujaan ini mulai popular pada masa Dinasti Ming. Guan Di dipuja karena kejujuran dan kesetiaannya, pun dipandang sebagai dewa pelindung perdagangan, dewa pelindung kesusasteraan dan dewa pelindung rakyat dari malapetaka peperangan yang mengerikan. Julukan dewa perang yang umumnya dialamatkan kepada Guan Di, harus diartikan sebagai dewa yang mencegah terjadinya peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak Guan Yu yang budiman. Di kalangan rakyat, Guan Yu juga dianggap sebagai Dewa Rezeki - Wuchai Shen.

Bagaimana mungkin Guan Yu sebagai seorang jenderal yang sering berperang dan membunuh akhirnya dihormati sebagai Bodhisattva? Meskipun tampak kontradiktif, namun semua ini tak lebih hanyalah masa lalu yang telah sirna setelah disadarkan oleh nasehat bhiksu suci. Penyadaran ini seperti halnya kisah kehidupan Angulimala di masa kehidupan Buddha.

Sifat Keteladanan Guan Yu
Meskipun pemujaan Guan Yu tersebar di berbagai kalangan, seperti lingkungan ibadah, kepolisian, bahkan hingga kalangan mafia yang konon dikatakan meneladani sikap kesetiakawanan Guan Yu, namun tidak berarti aspek negatif dari dunia mafia lalu dikaitkan dengan sosok Guan Yu. Ini hanyalah cermin kebebasan orang dalam memilih tokoh pemujaan. Terlepas dari hal ini, ada baiknya kita melihat sifat mulia yang tercermin dari sosok Guan Yu, yang bisa menjadi teladan bagi kita semua.
1. Patriotis
2. Menjaga norma susila
3. Tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan
4. Tidak silau akan nama dan harta
5. Tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
6. Tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
7. Berjiwa altruis (mementingkan orang lain)

Guan Yu bukan saja telah menjadi sosok yang identik dengan pemujaan spiritual, pun adalah penyatu kultur masyarakat Tiongkok di manapun berada dan menjadi sebuah maskot tentang semangat pengabdian, kesetiaan dan sikap lurus.

Sebagai penutup, kita kutip sebuah sajak yang dilantunkan sebagai apresiasi terhadap Guan Yu dalam Penuntun Kebaktian Sore kalangan Mahayana Tiongkok:
“Pemimpin Sangharama, yang mempunyai wibawa dan keagungan menata seluruh vihara. Dengan penuh sujud dan kesetiaan menjalankan Buddha Dharma. Selalu melindungi dan mengayomi Dharma Raja Graha. Tempat Suci selalu damai tenteram selamanya.Namo Dharmapala Garbha Bodhisattva Mahasattva Mahaprajnaparamita.”

Bodhisatva Vidya Kalama

Bodhisatva Vidya Kalama ( Lii Fa Lii Cu / Chun Yang Cu She / Lii Thong Pin)
(Era Dinasti Thang, 618-907)

Lii Cu adalah tokoh yang paling terkenal dalam kisah '8 Dewa' di daratan Tiongkok. Ia hidup sebagai seorang petani di dalam keluarga yang sederhana. Dengan pribadi yang penuh sila dan metta karuna, Ia selalu menolong orang miskin dan membasmi roh-roh jahat.

Lii Cu terlahir pada masa dinasti Thang (618-907M). Ayah dan kakeknya adalah pegawai pengadilan. Ketika sang ibu mengandungnya, bau harum memenuhi ruangan. Ketika itu terlihat seekor bangau putih turun dari langit, masuk ke dalam kamar dan lenyap dalam kandungan ibunya. Lahirlah Lii Cu yang kelak akan menjadi anak pandai. Dengan mudah Ia dapat meningat dan menceritakan kembali ajaran-ajaran Konfusius. Seperti teman sebayanya, ia juga selalu mempelajari ilmu-ilmu silat.

Dua kali Ia telah pergi ke Ibukota untuk mengikuti ujian kerajaan, namun dua kali pula Ia gagal. Di tengah kekecewaan Ia bertemu dengan Cong Li Chiien (salah satu tokoh dalam kisah 8 Dewa) yang mengajaknya untuk hidup membina. Lii Cu tergugah dengan bimbingan dan kepribadian Cong Li, dan sejak itulah Cong Li memberikan bimbingan melalui ujian yang berat. Dari ujian-ujian ini kelak terlihat sejauh mana ketegaran dan kesucian diri Lii Cu.

Suatu siang ketika pulang dari pasar, Lii Cu menemukan seluruh anggota keluarganya meninggal dunia, tergeletak di rumah tanpa jelas apa penyebab kematian mereka. Namun Lii Cu tidak merasa sedih berkepanjangan, dan tak terpikir untuk mencari tahu siapa pembunuh keluarganya. Ia memandang semua itu sebagai kewajaran 'Hukum Alam', bahwa pada akhirnya setiap orang memang akan menemui ajal. Dengan tenang Ia mengambil cangkul dan sekop untuk menggali lubang untuk pemakaman anggota keluarganya. Namun setelah persiapan pemakaman selesai, tiba-tiba seluruh anggota keluarganya bangkit dan hidup kembali. Melihat hal ini hatinya juga tidak merasa dipermainkan, bahkan langsung menutup kembali semua lubang yang dibuatnya tadi seolah-olah tidak ada sesuatu apapun yang terjadi. Ia sungguh memandang hidup-mati sebagai kewajaran.

Saat berdagang, seorang pembeli datang dan menawarkan barang. Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya sang pembeli malah berbuat curang, hanya membayarnya separuh harga. Lii Cu hanya berdiam diri, tak mempermasalahkannya walaupun tahu ia telah dirugikan.

Pada suatu malam Tahun Baru Imlek, ada seorang pengemis datang kerumahnya untuk meminta sedekah karena telah berhari-hari tidak makan. Lii Cu mempersilahkannya masuk dan menikmati hidangan. Setelah kenyang, si pengemis kembali meminta sedekah dalam bentuk uang. Namun Lii Cu tidak memberinya karena memang tak punya uang sepeser pun. Si pengemis tersebut memaki Lii Cu sebagai orang yang kikir. Namun Lii Cu tidak membalasnya dengan kemarahan. Bahkan Ia tetap memberikan senyuman.

Suatu kali Lii Cu pergi ke pasar dan membeli sebuah tempayan tembaga, namun keesokan harinya ia menyadari bahwa tempayan yang didapatnya adalah tempayan emas. Karena merasa bahwa benda tersebut bukan hak miliknya, Ia segera menukar kembali tempayan emas tersebut dengan tempayan tembaga.

Lii Cu tinggal di sekitar lereng gunung. Suatu hari saat sedang membaca buku tiba-tiba datang seorang gadis muda berparas elok dan menawan. Gadis ini hendak pulang ke rumah ibunya, namun karena malam sudah larut, ia meminta ijin untuk menginap. Pada malam harinya gadis ini berusaha menggoda Lii Cu. Namun Lii Cu tetap hening tak tegoda! Akhirnya gadis itu pun pergi dengan perasaan hormat atas kesucian hati Lii Cu.

Suatu hari rumahnya diincar oleh perampok, sehingga hampir semua barang dibawa pergi. Lii Cu tetep berhati besar dan lapang, berlaku wajar dan tak merasa sedih akan kehilangan ini. Dengan tenang Ia melanjutkan pekerjaannya bercocok tanam di belakang rumah. Saat mencangkul, Ia menemukan sebuah peti berisikan batangan emas. Lii Cu tidak merasa tertarik, lalu Ia mengguburkannya kembali seolah tidak pernah menemukan apapun disana.

Ketika Lii Cu berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang penjual obat. Penjual obat tersebut menawarkan sebuah obat istimewa, apabila seseorang meminum obat tersebut, ia akan langsung meninggal dunia namun pada kehidupan selanjutnya akan mendapatkan kebebasan abadi. Tak seorang pun yang ingin meminumnya, karena takut mati. Namun demi mendapatkan jalan kebebasan, Lii Cu rela mati. Ia langsung membeli dan meminumnya, namun anehnya Ia tetap bertahan hidup.

Dalam suatu kesempatan lain, Lii Cu melindungi sekawanan domba dari serangan seekor harimau. Ia merentangkan badannya dihadapan harimau ini untuk direlakan, namun harimau yang buas tadi malah berbalik lari.

Suatu ketika tanggul di desa bocor. Apabila dibiarkan, tanggul ini akan jebol, dna akhirnya akan membanjiri seluruh desa. Tak seorang pun berani memperbaiki tanggul ini. Masyarakat malah sibuk mempersiapkan pengungsian ke daerah lain. Lii Cu seakan tak memperhatikan keselamatan dirinya, dengan tenang Ia berjalan menerobos arus yang sangat deras. Akhirnya seluruh warga desa terhindar dari bencana banjir.

Tibalah saatnya setan-setan yang mengaku sebagai karma penagih hutang datang kepadanya. Lii Cu mengetahuinya, lantas merelakan dirinya untuk ditagih. Di dalam kesendiriannya Ia tak merasa gentar menghadapi roh-roh jahat yang menyerangnya. Di malam yang lain muncul mahkluk yang mengerikan. Mahkluk ini menuntuk bahwa ia dibunuh oleh Lii Cu pada kehidupan yang lampau, dan kini datang untuk membalas dendam. Namun berkat ketulusan dan jasa pahala yang telah diperbuatnya selama ini, karma-karma buruk tersebut tak dapat mencelakai Lii Cu.

Akhirnya datanglah Cong Li Chiien menyampaikan pesan untuk Lii Cu, "Saya telah mengujimu berkali-kali namun pribadimu sungguh kokoh tak tergoyahkan. Hanya sayang pahalamu belum cukup. Sekarang aku akan mengajarkan kepadamu 'Ilmu sakti emas-perak' yang dapat merubah besi menjadi emas, sehingga engkau kelak dapat menyelamatkan umat manusia. Kelak dengan kesempurnaan pahala, tercapailah kesuciaan.'

Lii Cu menjawab, "Aku tak sudi mempelajarinya, karena itu hanya akan mencelakai umat manusia!". Ternyata kata-kata Cong Li tadi juga merupakan ujian baginya. Cong Li kagum atas kepribadian Lii Cu. "Begitu bulat tekadmu! Semua pahala sudah disini!". Berpancarlah kepribadian Lii Cu yang hening, tiada ego, tiada keserakahan, jiwa nan lugu polos. Sejak itu Beliau terus mengembara untuk menyelamatkan umat manusia.

Setelah wafat, Lii Cu mencapai Parinibbana dengan gelar Bodhisatva Pelindung Dharma. Dalam ritual kebaktian Aliran Maitreya, kita bersujud kepada Beliau sebagai salah satu dari Ke Wei Fa Lii Cu ( Para Bodhisatva Penegak Hukum ).

Raja Wu Ti

Sorga Danau Biru dari Bunda Maha Mulia Semesta Barat secara spiritual letak paralel di bumi berada di atas puncak gunung Kun-Lun (daerah tibet dan china). Gunung Kun-Lun telah lama menjadi salah satu gunung yang sangat terkenal namanya bagi para pembina kehidupan spiritual karena merupakan salah satu gunung yang memiliki sakralitas yang tinggi karena letak paralelnya sebagai pilar dari alam semesta.

Di sorga Danau Biru terdapat pohon semesta yang menunjang alam semesta. Pohon ini bagaikan pohon Peach yang sangat besar, dimana buahnya di dambakan oleh seluruh mahluk suci, dewa-dewi dan para mahluk lainnya. Pohon Peach ini hanya berbuah setiap 3 ribu tahun sekali. Dan tidak satu mahluk diperbolehkan memetiknya tanpa izin dari Bunda Mulia. Pohon semesta terletak di tengah taman sorga yang sangat indah sekali, dan semuanya di bawah pengawasan langsung dari Bunda Mulia Ratu Besar, Dewi Yauw Ce Cin Mu Ta Thien Cun.

Alkisah di zaman dinasti Han beberapa masa yang lampau, seorang pendeta bernama Tung Fang So (di sutra jepang di namakan Tobosaku, dan dalam kesenian jepang dikenal sebagai Jolly Old Man, yang memegang sebuah peach di dadanya dan melakukan tarian persembahan. Juga kadang digambarkan sebagai pertapa tua (dreamy sage) yang membawa 2 atau 3 buah peach yang ditemani oleh manjangan emas sebagai symbol umur panjang).

Pendeta Tung Fang So adalah penasehat dari raja Wu Ti, raja ke empat dinasti Han yang berkuasa lebih dari setengah abad. Kisah-kisah raja Wu Ti juga sangat populer dan dikenal di jepang dengan Kan no Buti.

Raja Wu Ti selalu ingin mendapatkan "Air Kehidupan" atau "Buah Kehidupan". Dibangunnya banyak pagoda, dengan dekorasi gambar para Budha, Bodhisatva dan para immortal yang memegang Vase emas di tangannya. Semua ini dengan maksud untuk mengumpulkan embun suci yang di percaya turun dari langit dan alam semesta. Raja Wu Ti selalu minum dari air embun ini dengan keyakinan akan membuatnya muda kembali.

Suatu hari, saat raja Wu Ti berjalan di tamannya dan melihat-lihat pagodanya. Raja Wu Ti melihat seekor burung walet hijau. Burung walet merupakan lambang keanggunan di jepang dan china, dan warnanya yang tidak umum merupakan petunjuk akan sesuatu hal yang luar biasa akan terjadi. Raja Wu Ti mempercayai bahwa burung walet hijau sebagai pembawa berita dari sorga.

Raja sangat heran akan kehadiran burung walet hijau ini, lalu mengundang penasehatnya Pendeta Tung Fang So untuk mengungkapkan artinya. Pendeta Tung Fang So lalu mendapatkan wangsi (pandangan spiritual) bahwa Bunda Mulia akan berkunjung ke istana Raja.

Salah satu sinar penjelmaan Bunda Mulia ternyata benar-benar datang berkunjung ke istana Raja Wu Ti, dimana tampak Bunda Mulia duduk diatas Naga Emas Langit yang bercahaya putih dan keemasan. Seluruh tubuh Bunda Ratu Besar memancarkan sinar emas berkilauan, sehingga alam bercahaya emas yang luar biasa terangnya.

Bunda Mulia diiringi oleh para malaikat sorga dan bidadari yang memegang nampan emas berisi 7 buah peach. Pendeta Tung Fang So secara diam-diam menerima 3 buah peach dari Bunda Mulia . Lalu Bunda Mulia memberi test kepada Raja Wuti dengan memberitahukan bahwa Pendeta Tung Fang So telah mengambil 3 buah peach yang jatuh dari nampan emas yang di pegang oleh bidadari pendamping Bunda Mulia.

Raja Wu Ti hanya bersujud di hadapan Bunda Mulia. Walaupun sebagai raja, Raja Wu Ti dapat memerintahkan pendeta Tung Fang So untuk memberikan buah peach kepadanya, tetapi Raja Wu Ti tidak melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa Raja Wu Ti tidak lagi di kuasai oleh emosi dan keinginannya untuk menjadi muda kembali.

Bunda Mulia senang mengetahui bahwa Kesadaran Sejati Raja Wu Ti benar-benar telah terbebaskan dari racun-racun didalam tubuh dan kekotoran pikiran. Lalu Beliau tersenyum dan memberikan sebuah peach kepada Raja Wu Ti untuk dimakannya. Raja Wu Ti lalu memakannya, seketika itu juga dirinya menjadi immortal. Tubuh Raja Wu Ti menjadi moksa kembali ke Sorga Danau Biru bersama Bunda Mulia .

BAB XXVII KISAH RAJA CAHAYA GEMILANG

Pada saat itu Sang Buddha menyapa persidangan agung, “Konon, didalam suatu aeon yang terdahulu pada sekian asamkhyeya kalpa yang tak terbatas, tak terhitung dan tak dapat dibayangkan yang telah lalu, adalah seorang Buddha yang bernama Galadharagargitaghoshasusvaranaks Hatraragasankusuinitabhigna, Sang Tathagata, Arhat, Samyaksambodhi, yang kawasannya disebut Vairokanarasinipratimandita, dan kalpanya disebut Priyadarsana. Dibawah ajaran keagamaan dari Buddha itu, terdapatlah seorang raja yang bernama Subavyuha. Permaisuri raja itu bernama Vimaladatta yang berputra dua orang, yang satu bernama Vimalagarbha dan yang lain bernama Vimalanetra. Kedua putera itu memiliki daya ghaib yang agung, memiliki karunia dan kebijaksanaan dan telah sekian lama mencurahkan diri pada jalan dimana para Bodhisatva bertindak, yaitu Dana Paramita, Sila-Paramita, Kshanti Paramita, Virya-Paramita, Meditasi Paramita, Prajna Paramita, keluhuran budi, ramah tamah, welas asih, gembira, tiada membeda-bedakan dan ke 37 jenis pertolongan pada Jalan Agung. Semuanya ini mereka benar-benar paham. Mereka juga telah mencapai perenungan Bodhisatva, yaitu Vimala Samadhi, Nakshatraragaditya Samadhi, Vimala Nirbhasa Samadhi, Vimala Bhasa Samadhi, Alankarasura Samadhi, Nirmalanirbasha Samadhi, dan Mahategogarbha Samadhi, mereka benar-benar telah sempurna dalam perenungan-perenungan ini.

“Kemudian Buddha itu yang ingin membimbing Raja Subavyuha dan ingin mengasihi semua umat, beliau mengkhotbahkan Hukum Sutra Bunga Teratai ini. Pada saat itu kedua putera yaitu Vimalagarbha dan Vimalanetra, pergi menghadap ibunya dan dengan mengatupkan kesepuluh jarinya, mereka berkata kepadanya “Ibu, kami mohon kepadamu agar pergi dan mengunjungi Sang Buddha Galadhara Gargita. Kami juga suka melayaninya, mendekati, memuja dan memuliakannya. Karena Buddha itu mengkhotbahkan Sutra Bunga Hukum di tengah-tengah kelompok para dewa dan manusia, dan kami harus mendengarnya.”

Sang Ibu menjawab putera-puteranya: “Ayahnda kalian percaya pada hukum-hukum kolot dan sangat terpancang pada hukum Brahman. Kalian pergilah dan bicaralah pada ayah kalian agar suka pergi bersama kita.” Sang Vimalagarbha dan Sang Vimalanetra bersama-sama mengatupkan sepuluh jarinya serta berkata pada sang ibu “Kami adalah putera-putera Sang Raja Hukum meskipun dilahirkan didalam rumah yang berpandangan kolot ini.”

Sang Ibu berkata kepada putera-puteranya “Kalian harus mempunyai rasa simpatik pada ayah kalian, dan tunjukkanlah kepadanya beberapa perbuatan ghaib sehingga hatinya akan menjadi terang setelah melihatnya dan mungkin ia mengizinkan kita untuk pergi menghadap Buddha itu.”

“Karena demi sang ayah, kemudian kedua putera itu meloncat keatas langit setinggi 7 pohon tala serta mempertunjukkan aneka ragam perbuatan-perbuatan ghaib dengan berjalan, berdiri, duduk atau berbaring di langit itu. Tubuhnya bagian atas memancarkan air dan yang bawah memancarkan api, atau bagian bawah memancarkan air dan yang atas memancarkan api. Ataupun membesarkan dirinya sampai memenuhi langit dan kembali mengecil, atau mengecil kemudian membesar lagi. Kemudian mereka menghilang dari langit itu dan dengan tiba-tiba muncul diatas bumi atau memasuki bumi seperti menyelam kedalam air, atau berjalan diatas air seperti diatas bumi. Dengan mempertunjukkan berbagai perbuatan-perbuatan ghaib itu,mereka membimbing sang ayah untuk mensucikan hatinya agar percaya dan meyakini.
“Ketika sang ayah melihat kedua puteranya memiliki kekuatan ghaib seperti itu, ia sangat gembira karena hal-hal yang belum pernah ia ketahui dan dengan mengatupkan tangannya ia menghormati kedua puteranya seraya berkata : ”Siapakah guru kalian ? Murid siapakah kalian ?” Kedua puteranya menjawab :” Sang Raja Agung ! Yaitu Sang Buddha Galadharagargita yang sekarang sedang berada dibawah pohon Bodhi 7 permata dan duduk diatas tahta Hukum sedang menyiarkan Hukum Bunga Teratai ditengah-tengah dunia para dewa dan manusia. Beliaulah guru kami dan kami adalah murid beliau.” Kemudian sang ayah berkata kepada puteranya :” Aku sekarang juga suka sekali menjumpai gurumu dan marilah kita pergi bersama.”

“Karenanya, kedua putera itu turun dari langit dan menghadap sang ibu, serta dengan tangan terkatup berkata kepadanya :”Ayah kita, sang raja, sekarang telah percaya dan sadar hati serta telah pula mampu berketetapan untuk mencapai Penerangan Agung. Kami telah melaksanakan perbuatan Buddha kepada ayah kami. Ibu, berkenanlah engkau untuk mengizinkan kami meninggalkan rumah dan menjalankan jalan Agung dibawah Sang Buddha itu.”

“Kemudian kedua putera itu yang ingin memaklumkan kembali keinginannya berkata kepada sang ibu dalam syair :

“Ibu, berkenanlah engkau melepas kami
Untuk meninggalkan rumah dan menjadi sramanera.
Alangkah sulitnya bertemu dengan para Buddha
Dan kami ingin menjadi pengikut seorang Buddha.
Seperti bunga udumbara,
Lebih sulitlah lagi bertemu dengan seorang Buddha,
Berkenanlah engkau melepas kami untuk
Meninggalkan rumah.”

“Kemudian sang ibu berkata : “Aku ijinkan kalian meninggalkan rumah karena sesungguhnyalah seorang Buddha sulit ditemui.”

“Karena hal ini, kemudian kedua putera itu berkata kepada ibu-bapanya : Bagus, ayah dan ibu ! Kami mohon agar ayah dan ibu sekarang ini pergi pada Sang Buddha Galadharagargita untuk mendekati dan memuliakannya. Karena seorang Buddha sangat sulit sekali dijumpai seperti bunga udumbara, ataupun seperti seekor kura-kura bermata satu menjumpai lubang pada sebuah balok yang terapung. Tetapi kita yang memiliki banyak sekali berkah selama kehidupan yang terdahulu, telah menjumpai seorang Buddha didalam hidup ini.

Oleh karenanya, duhai ayah dan ibu, dengarkanlah kami dan marilah kita berangkat. Karena para Buddha sulit sekali dijumpai dan kesempatannyapun sulit pula ditemui.”

“Pada saat itu 84 ribu prameswari-prameswari istana dari Sang Raja Subhavyuha semuanya mendapatkan kemampuan untuk menerima dan memelihara Hukum Sutra Bunga Teratai ini. Sang Bodhisatva Vimalanetra telah sekian lama menguasai perenungan Bunga Hukum. Sang Bodhisatva Vimalagharba selama ratusan ribu koti kalpa yang tanpa batasan, telah sempurna didalam perenungan Sarvasattvapapagahana, yang berguna untuk membimbing semua umat menjauhi segala perwujudan yang buruk. Ratu dari raja itu telah mencapai perenungan tentang Kumpulan Para Buddha dan dapat mengetahui sumber-sumber rahasia dari para Buddha. Demikianlah dengan cara yang bijaksana, kedua putera itu mentakbiskan ayahandanya serta membuat hatinya percaya, yakin dan senang didalam Hukum Buddha.

“Kemudian Sang Raja Subhavyuha dengan ditemani oleh para menteri dan rombongannya, dan Sang Ratu Vimaladatta dengan ditemani oleh para puteri-puteri istananya yang cantik-cantik bersama rombongannya, serta kedua putera raja dengan ditemani oleh 42 ribu orang, semuanya dengan segera berangkat bersama untuk mengunjungi Buddha itu. Setelah tiba disana, mereka bersujud pada kakinya dan membuat pawai mengelilingi Buddha itu sebanyak tiga kali, dan sesudahnya mereka menarik diri kesatu sisi.

“Kemudian Buddha itu berkhotbah pada Sang Raja dengan mempertunjukkan, mengajar, menyelamatkan dan membuatnya gembira sehingga sang raja sangat suka-cita. Kemudian Sang Raja Subhavyuha dan sang ratu melepas kalung-kalung mutiara berharga ratusan ribu dari leher mereka dan melemparkannya keatas Buddha itu, yang diangkasa berubah menjadi sebuah menara permata berpilar empat dan di menara itu terdapat sebuah depan permata yang besar yang diselimuti dengan ratusan ribu selimut-selimut kasurgan dimana Sang Buddha itu duduk bersila memancarkan cahaya yang bergemerlapan.

Kemudian Sang Raja Subhavyuha berpikir “Aneh, agung dan luar biasa tubuh Buddha ini sempurna keagungannya dan berwarna bagus sekali!

“Kemudian Sang Buddha Galadharagargita menyapa keempat kelompok seraya berkata “Melihatkah kalian akan Sang Raja Subhavyuha yang sedang berdiri dihadapanku dengan tangan terkatup ? Raja ini setelah menjadi seorang bhiksu dibawah ajaranku dan menjadi bersemangat didalam mempelajari hukum yang membantu jalan keBuddhaan, akan menjadi seorang Buddha dengan gelar Raja Salendraraga yang kawasannya disebut Cahaya Agung dan kalpanya disebut Abhyudgataraga. Sang Buddha Salendraraga ini akan memiliki para Bodhisatva dan para sravaka yang tak terhitung jumlahnya dan kawasannya akan datar dan lurus. Demikanlah pahala-pahalanya.”

“Seketika itu sang raja memasrahkan kawasannya kepada saudara mudanya dan sang raja bersama ratunya, kedua puteranya dan rombongannya, meninggalkan rumahnya dan mengikuti Jalan dibawah ajaran Buddha itu. Setelah meninggalkan rumahnya, selama 84 ribu tahun sang raja selalu rajin dan bersemangat didalam mempelajari Hukum Sutra Bunga Teratai, dan sesudah waktu ini berlalu, ia mencapai tingkat samadhi Sarvagunalankara Vyuha.

“Kemudian ia membumbung ke angkasa setinggi 7 pohon tala dan berkata pada Buddha itu “Yang Maha Agung ! Kedua puteraku ini telah melakukan perbuatan seorang Buddha yang dengan penjelmaan ghaib mereka, telah merubah pikiran kolotku, menyadarkan aku kedalam jalan Buddha dan menyebabkan aku melihat yang maha agung. Kedua putera ini adalah sahabatku yang baik, karena dengan setulusnya telah membina akar-akar kebajikan, yang ditanam didalam kehidupanku yang lampau dan menyelamatkan aku, mereka datang dan terlahir di rumahku.”

“Kemudian Sang Buddha Galadharagangtta menyapa Sang Raja Subhavyuha seraya berkata, “Begitulah, begitulah, begitulah seperti apa yang telah engkau katakan. Seorang putera maupun seorang puteri dengan menanami akar-akar kebajikan akan memperoleh teman-teman yang baik di setiap generasi yang teman-teman baik itu akan mampu melakukan perbuatan seorang Buddha dengan menunjukkan, mengajar, menyelamatkan dan membuatnya bahagia serta menyebabkannya masuk kedalam Penerangan Agung.

Ketahuilah, Wahai Raja Agung ! Seorang teman yang baik adalah sebab yang agung dengan mana manusia ditakbiskan dan dibimbing untuk melihat sang Buddha dan menuju kearah Penerangan Agung. Wahai Raja Agung ! Melihatkah engkau akan kedua putera ini ? Kedua putera ini memuliakan para Buddha yang jumlahnya sebanyak 65 kali ratusan ribu koti nayuta pasir sungai Gangga, dia telah pula melayani dan memuja mereka. diantara Buddha-Buddha itu dia telah menerima memelihara Hukum Sutra Bunga Teratai. Dia mengasihi umat yang berpandangan palsu dan menyadarkan mereka kedalam pandangan yang benar.”

“Kemudian Sang Raja Subhavyuha turun dari langit dan berkata kepada Sang Buddha itu, “Sang Maha Agung ! Aneh benar pandangan dari sang Tathagata; dengan jasa dan kebijaksanaannya, tonjolan pada kepalanya bersinar cemerlang; matanya terbuka dan berwarna biru tua ; rambut diantara kedua alis matanya putih seperti bulan purnama; giginya putih rapat dan selalu bersinar; bibirnya merah dan indah seperti buah bimba.”

Setelah Sang Raja Subhavyuha memuji jasa-jasa yang beratus ribu koti jumlahnya dari sang Buddha itu, kemudian dengan sepenuh hatinya ia mengatupkan kedua tangannya di hadapan Sang Tathagata dan kembali menyapa Sang Buddha seraya berkata, “Yang Maha Agung sangat begitu sempurna. Ajaran sang Tathagata sangat paripurna didalam berkahnya yang mengagumkan dan tak dapat dibayangkan. Ajaran moral yang ia ajarkan sangat menggembirakan dan menggairahkan. Mulai hari ini aku tidak akan mengikuti jalan pikiranku sendiri, ataupun menaruh pikiran yang palsu, menaruh kesombongan, kemarahan ataupun jiwa yang penuh dosa lainnya.”

Setelah mengucapkan kata-kata ini, kemudian ia menghormat Buddha itu dan berjalan ke muka.” Kemudian Sang Sakyamuni Buddha bersabda kepada persidangan agung itu “Bagaimanakah pendapat kalian ? Sang Raja Subhavyuha ini apakah orang lain adanya ? Sesungguhnyalah ia itu Sang Padmasri adanya. Ratu Padmasri ialah Sang Bodhisatva Vairokanarasinipratimanditaraga yang sekarang berada dihadapan Sang Buddha yang mengasihi Sang Raja Subhavyuha dan orang-orangnya akan terlahir diantara mereka. Kedua putera ini ialah Sang Bodhisatva Baisajaraja dan Sang Bodhisatva Baisajaragasamudgata. Sang Bodhisatva Baisajaraga dan Baisajaragasamudgata ini yang setelah menyempurnakan jasa yang sedemikian besar itu dan dibawah naungan ratusan ribu koti Buddha, telah menanam akar-akar keluhuran dan dengan sempurna tèlah mencapai kebajikan yang tak dapat dibayangkan lagi.

Jika terdapat seseorang yang mengenal nama dari kedua Bodhisatva ini, maka para dewa dan manusia di seluruh dunia akan memuliakannya.”

Pada saat Sang Buddha mengkhotbahkan bab ini yaitu tentang “Kisah Sang Raja Subhavyuha”, 84 ribu orang lepas dari ketidak sucian mereka dan memisahkan diri dari hal-hal yang kotor, dan memperoleh mata hati yang suci yang berkenaan dengan hal-hal kebatinan.

Sunday 17 August 2008

Karma

setiap hari melakukan kebajikan tetapi selalu mendapatkan celaan atau hasil yang tidak sepadan,
artinya karma baik belum tiba,tapi karma buruk sudah tiba
setiap hari melakukan kejahatan tetapi hidup selalu dipenuhi kemulusan
artinya karma baik sudah datang,tetapi karma buruk belum datang
inkarnasi sekarang ini adalah buah perbuatan inkarnasi yang lalu,inkarnasi sekarang menentukan
buah inkarnasi dimasa yang akan datang.

Sejarah Singkat Sang Budha

Raja Suddhodana Gautama dengan permaisurinya Dewi Mahamaya yang cantik jelita memerintah kerajaan di Kapilawastu bagian selatan pegunungan Himalaya dengan adil dan bijaksana. Walaupun telah menikah 20 tahun lamanya, tetapi belum dikarunia seorang putrapun. Sampai pada suatu malam, Dewi Mahamaya bermimpi melihat seekor gajah putih yang untuk kemudian permaisuri lalu mengandung.

Menurut adat kebiasaan yang berlaku, permaisuri harus melahirkan di rumah orang tuanya, sehingga pada saat akan melahirkan, pergilah Dewi Mahamaya ke istana orang tuanya di kerajaan Koliya. Dalam perjalanan, Dewi Mahamaya berhenti untuk beristirahat di taman Lumbini. Pada saat beristirahat, lahirlah putranya.

Semua orang merasa bahagia, bahkan langit dan bumi seolah-olah turut juga menyambut kegembiraannya atas kelahiran putra Baginda yang jatuh pada saat bulan Purnama Siddhi di bulan Waisak (versi Buddhisme Mahayana, 566 SM hari ke - 8 bulan ke-4 menurut kalender lunar. Versi World Fellowship of Buddhist, bulan Mei tahun 623 SM).

Pada hari ke-lima kelahiran Pangeran, Baginda memberikan nama kepada putranya, Siddharta, yang berarti ‘tercapailah cita-citanya'. Dewi Mahamaya wafat seminggu setelah melahirkan putranya. Adiknya Dewi Mahaprajapati untuk kemudian diserahi tugas dan tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik Pangeran Siddharta.

Pada suatu hari, pertapa Asita yang berdiam di pegunungan dekat istana raja Suddhodana memperhatikan sinar yang memancar terang di istana dan memutuskan untuk mengunjungi istana. Baginda menyambut kedatangan pertapa Asita sambil memperlihatkan putranya. Begitu melihat Pangeran Siddharta, pertapa Asita menangis terharu sambil mengatakan, " Sayang sekali, hamba sudah tua, kelak hamba tidak akan sempat menerima ajaran Sang Buddha, oh ! " (Buddha berasal dari Budh, yang artinya kesadaran. Buddha berarti orang yang telah mencapai kesadaran sempurna). Baginda merasa terkejut dan meminta penjelasan lebih lanjut dari pertapa Asita yang menambahkan, " Kelak dia akan meninggalkan istana untuk pergi bertapa mencari kesadaran sempurna. Baginda seharusnya bahagia, karena Pangeran adalah Permata Dunia yang mampu membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan. Dia adalah cahaya abadi dunia yang tak kunjung padam ".

Kata-kata pertapa Asita membuat Baginda tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi Pangeran Siddharta kurang berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan dan pancaroba. Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya Empat Kondisi yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Sehingga Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, " Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini ! ". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya . Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.

Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magada untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi sungai Nairanjana yang mengalir dekat hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan, " Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu."

Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon Bodhi (Asetta) di hutan Gaya, sambil berprasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan , tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat itu. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur. Sekarang pertapa Gautama menjadi terang dan jernih, secerah sinar fajar yang menyingsing di ufuk timur. Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha [Sammasam-Buddha], tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender Lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Beliau memancarkan enam sinar Buddha [Buddharasmi] dengan warna warni Biru yang berarti bhakti; Kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; Merah yang berarti kasih sayang dan welas-asih; Putih mengandung arti suci; Jingga berarti giat; dan campuran ke-lima sinar tersebut.

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain : Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama [Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka Pavattana], dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukanNya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia.

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, dimana Beliau mengetahui bahwa tiga bulan lagi Beliau akan Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon Sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswaNya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Khotbah Buddha Gautama terakhir mengandung arti yang sangat dalam bagi siswa-siswaNya, yang antara lain :

  • Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran Sang Buddha.
  • Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup.
  • Segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi.
  • Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) ialah untuk mengendalikan pikiran.
  • Pikiran dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula menjadikan seseorang menjadi binatang.
  • Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat menghindarkan diri dari segala macam perselisihan.
  • Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang Buddha.
  • Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat manusia.
  • Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani.
  • Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi Pencerahan Sempurna.
  • Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran.
  • Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha.
  • Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.

Sang Buddha bersabda, "Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan penuh kesadaran!" (Digha Nikaya II, 156)

Sifat Agung Sang Buddha

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih [maitri/metta] dan Kasih Sayang [karuna] yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, " Penderitaanmu adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku." Manusia adalah pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya kepada Pencerahan Sempurna.

Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu abadi, dimana telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan-batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, Beliau telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu :

1. Berusaha menolong semua makhluk.

2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.

3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.

4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu

  • Tubuh [kaya] : pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan [vak] : penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
  • Pikiran [citta] : kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Bagaikan hujan yang jatuh tanpa membeda-bedakan, demikianlah Cinta Kasih seorang Buddha. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih SayangNya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai Pencerahan Sempurna. Sang Buddha adalah ayah dalam kasih sayang dan ibu dalam cinta kasih.

Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Beliau hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuhNya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.

Seorang Buddha memiliki sifat luhur antara lain :

1. Bertingkah laku baik;

2. Berpandangan hidup luhur;

3. Memiliki kebijaksanaan sempurna;

4. Memiliki kepandaian mengajar yang tiada bandingnya;

5. Memiliki cara menuntun dan membimbing manusia dalam mengamalkan Dharma.

Buddha Gautama memelihara semangatNya yang selalu tenang dan damai dengan melaksanakan meditasi. Sang Buddha membersihkan pikiran mereka dari kekotoran bathin dan menganugerahkan mereka kegembiraan dengan semangat tunggal yang sempurna. Jangkauan pikiran Sang Buddha melampaui jangkauan pikiran manusia biasa. Dengan kebijaksanaan yang sempurna, Buddha Gautama dapat menghindarkan diri dari sikap-sikap ekstrim dan prasangka, serta memiliki kesederhanaan. Oleh karena itu Beliau dapat mengetahui dan mengerti pikiran dan perasaan semua orang dan dapat melihat yang ada dan yang terjadi di dunia dalam sekejap, sehingga mendapatkan julukan seorang yang telah Mencapai Pencerahan Sempurna [Sammasam-Buddha] dan Yang Maha Tahu [Sugata].

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diriNya mampu mengatasi berbagai masalah didalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Beliau dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendakiNya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbahNya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbahNya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Buddha Gautama bersabda, " Hanya dengan jalan melalui kepercayaan, keyakinanlah, mereka akan dapat mengikuti ajaranKu. Karena itu setiap orang hendaknya mau mendengarkan ajaranKu, kemudian menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari."

Wujud dan Kehadiran Buddha

Buddha tidak hanya dapat diketahui dengan hanya melihat wujud dan sifatNya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan mencapai Pencerahan Sempurna. Buddha sejati tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diriNya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujudNya atau mengerti Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik kepada wujudNya atau sifatNya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat dan mengetahui Buddha dengan benar.

Buddha di Rumah

Fu-hauzi adalah seorang pemuda yang berwatak tidak sopan terhadap ibunya yang sudah tua dan tinggal sendirian bersamanya. Fu-hauzi selain malas juga pemarah sekali, sehingga ibunya yang masih bekerja sendirian tersebut sering menjadi obyek amarahnya. Tetapi ibunya tetap sabar dan mengasihi anak tunggalnya tersebut.

Sampai suatu hari, pemuda ini mendapatkan khabar bahwa di seberang lautan dekat puncak gunung, terdapat seorang Buddha yang sangat sakti dimana setiap permintaan dapat dipenuhinya. Fu-hau-zi yang memang sifatnya malas, berminat untuk bertemu Buddha tersebut agar dapat langsung memperoleh kesaktian sehingga tidak perlu susah bekerja. Maka berangkatlah Fu-hauzi seorang diri yang tentunya tanpa pamit kepada ibunya.

Sampai di gunung seberang, dia bertemu dengan seorang bhikshu tua sederhana yang telah berjenggot, maka diapun bertanya , "Kakek tua, saya ingin bertemu dengan Buddha". Kakek tua tersebut yang mengetahui pemuda ini, menyahut, "Anak muda, sekarang Buddha itu sedang menunggu di rumahmu. Ciri-cirinya adalah berpakaian terbalik dan sandal yang terbalik yang akan menyambutmu di depan pintu rumahmu. Pergilah menemuinya karena dia telah lama menunggumu."

Merasa girang bahwa rupanya Buddha telah datang ke rumahnya dan menungguinya, maka Fu-hauzi segera pulang ke rumah sambil berpikir dalam hati, "Sungguh sakti Buddha tersebut, dan sungguh beruntung saya karena telah ditunggui oleh Buddha di rumah". Sesampai di depan pintu rumahnya, segera Fu-hauzi menggedor pintu dan memanggil nyaring ibunya untuk membukakan pintu. Ibunya yang sedang tidur siang, terkejut dan karena khawatir membuat anaknya marah serta senang juga mendengar anaknya telah kembali setelah pergi sekian lama tanpa permisi ,maka dengan tergopoh-gopoh ibu tua ini memakai baju terbalik dan sandal terbalik. Segera dibukakannya pintu rumah, pemuda ini melihat persis ciri seorang Buddha yang digambarkan oleh bhikshu tua di gunung seberang, yang malah menangis memeluknya. Segera Hauzi berlutut di depan ibunya dan sadar akan tabiat buruknya selama ini. Sejak itu Hauzi menjadi anak yang berbakti dan bekerja dengan rajin.

Demikianlah Buddha adalah Pencerahan Sempurna, sehingga tidak dapat dicari dari bentuk luar saja karena tidak berbentuk dan berwujud. Tubuh Buddha merupakan badan abadi yang perwujudanNya adalah Kebijaksanaan. Pencerahan Sempurna memperlihatkan diri sebagai cahaya kebijaksanaan yang membangkitkan orang ke dalam suatu kehidupan baru dan menyebabkan mereka terlahir di tanah Buddha.

Ajaran esoterik menguraikan Buddha memiliki tiga rangkap badan [Tri-Kaya], yaitu Dharma-Kaya, Sambogha-Kaya dan Nirmana-Kaya. Dharma-Kaya adalah sumbernya Dharma, dimana merupakan kesunyataan sebagai hakikat yang hakiki tanpa bentuk dan warna. Buddha sebagai perwujudan Dharma-Kaya selalu berada di seluruh alam semesta, tidak peduli apakah orang percaya atau tidak percaya pada keberadaanNya. Sambogha-Kaya merupakan sifat Agung Buddha yang merupakan gabungan Kasih Sayang dan Kebijaksanaan. Sambhogha-Kaya berwujud sebagai kekuatan atau cahaya yang hanya dapat dirasakan secara rohani, dan diwujudkan dalam bentuk simbol dari kelahiran dan kematian. Nirmana-Kaya merupakan Buddha Hidup atau Manusia Buddha yang berarti perwujudan fisik dari seorang Buddha, dalam usaha melaksanakan misiNya kepada manusia sebagaimana tercermin pada tubuh Buddha Gautama. Buddha Gautama dengan menggunakan perwujudan Nirmana-Kaya membimbing umat manusia, agar dapat terbebaskan dari penderitaan karena umur tua dan kematian. Dalam perwujudanNya sebagai Nirmana-kaya, terdapat Buddha Masa Lalu, Buddha Sekarang dan Buddha Yang Akan Datang. Buddha Masa Lalu adalah sebelum kehadiran Buddha Gautama, yaitu Buddha Kanogamana, Buddha Kakusundha dan Buddha Kassapa. Sedangkan Buddha Yang Akan datang sebagaimana sabda Buddha Gautama adalah Buddha Maitreya [Metteya], yang sekarang masih bertugas sebagai Bodhisattva dan berdiam di Tanah Suci Tusita. Buddha Gautama bersabda, bahwa Bodhisattva Maitreya akan menjadi Buddha Yang Akan Datang 5.000 tahun setelah Parinibbana Buddha Gautama, atau menurut perhitungan lain yaitu 5.670.000.000 tahun manusia.

Kehadiran seorang Buddha yang telah mencapai Pencerahan Sempurna untuk mengajarkan Dharma di dunia ini sangatlah jarang terjadi. Kehadiran Buddha di dunia ini, karena terpanggil oleh jeritan penderitaan umat manusia. Muncul dan hilangnya Buddha merupakan suatu kenyataan dari hukum sebab akibat yang saling bergantungan, namun Kebuddhaan selalu ada dan dalam keadaan yang sama. Untuk itu sebagai umat Buddha hendaknya selalu tetap pada Jalan Pencerahan Sempurna, sehingga dapat mencapai kebijaksanaan sempurna, dimana tidak terpengaruh oleh kehadiran Buddha. Bentuk asli Buddha pada hakekatnya tidak akan muncul atau lenyap. Buddha selalu ada di sekeliling kita, dan di dalam diri kita, namun sering kita tidak menyadarinya.

Buddha Gautama bersabda: "Sekarang Aku ingat, Ananda, ketika Aku masuk ke dalam kumpulan orang-orang penting, orang-orang religius, perumahtangga, orang-orang dari kepercayaan lain, dan beragam dewa; sebelum Aku duduk dan berbicara kepada mereka, Aku mengubah diriKu sendiri menjadi seperti mereka, berbicara seperti mereka. Tatkala Aku telah selesai membabarkan Ajaran, mereka sangat gembira. Namun, mereka tidak mengetahui siapa Aku, bahkan setelah Aku tiada!" (Mahaparinibbana-sutta)

Ketika kita menyatakan berlindung kepada Buddha (Buddhang Saranang Gacchami) berarti kita harus memiliki kepercayaan terhadap Sang Buddha dan mempertimbangkan ajaran-ajaranNya sebagai suatu hal yang terpenting dalam menjalani kehidupan ini.