Tuesday 19 August 2008

Bodhisatva Vidya Kalama

Bodhisatva Vidya Kalama ( Lii Fa Lii Cu / Chun Yang Cu She / Lii Thong Pin)
(Era Dinasti Thang, 618-907)

Lii Cu adalah tokoh yang paling terkenal dalam kisah '8 Dewa' di daratan Tiongkok. Ia hidup sebagai seorang petani di dalam keluarga yang sederhana. Dengan pribadi yang penuh sila dan metta karuna, Ia selalu menolong orang miskin dan membasmi roh-roh jahat.

Lii Cu terlahir pada masa dinasti Thang (618-907M). Ayah dan kakeknya adalah pegawai pengadilan. Ketika sang ibu mengandungnya, bau harum memenuhi ruangan. Ketika itu terlihat seekor bangau putih turun dari langit, masuk ke dalam kamar dan lenyap dalam kandungan ibunya. Lahirlah Lii Cu yang kelak akan menjadi anak pandai. Dengan mudah Ia dapat meningat dan menceritakan kembali ajaran-ajaran Konfusius. Seperti teman sebayanya, ia juga selalu mempelajari ilmu-ilmu silat.

Dua kali Ia telah pergi ke Ibukota untuk mengikuti ujian kerajaan, namun dua kali pula Ia gagal. Di tengah kekecewaan Ia bertemu dengan Cong Li Chiien (salah satu tokoh dalam kisah 8 Dewa) yang mengajaknya untuk hidup membina. Lii Cu tergugah dengan bimbingan dan kepribadian Cong Li, dan sejak itulah Cong Li memberikan bimbingan melalui ujian yang berat. Dari ujian-ujian ini kelak terlihat sejauh mana ketegaran dan kesucian diri Lii Cu.

Suatu siang ketika pulang dari pasar, Lii Cu menemukan seluruh anggota keluarganya meninggal dunia, tergeletak di rumah tanpa jelas apa penyebab kematian mereka. Namun Lii Cu tidak merasa sedih berkepanjangan, dan tak terpikir untuk mencari tahu siapa pembunuh keluarganya. Ia memandang semua itu sebagai kewajaran 'Hukum Alam', bahwa pada akhirnya setiap orang memang akan menemui ajal. Dengan tenang Ia mengambil cangkul dan sekop untuk menggali lubang untuk pemakaman anggota keluarganya. Namun setelah persiapan pemakaman selesai, tiba-tiba seluruh anggota keluarganya bangkit dan hidup kembali. Melihat hal ini hatinya juga tidak merasa dipermainkan, bahkan langsung menutup kembali semua lubang yang dibuatnya tadi seolah-olah tidak ada sesuatu apapun yang terjadi. Ia sungguh memandang hidup-mati sebagai kewajaran.

Saat berdagang, seorang pembeli datang dan menawarkan barang. Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya sang pembeli malah berbuat curang, hanya membayarnya separuh harga. Lii Cu hanya berdiam diri, tak mempermasalahkannya walaupun tahu ia telah dirugikan.

Pada suatu malam Tahun Baru Imlek, ada seorang pengemis datang kerumahnya untuk meminta sedekah karena telah berhari-hari tidak makan. Lii Cu mempersilahkannya masuk dan menikmati hidangan. Setelah kenyang, si pengemis kembali meminta sedekah dalam bentuk uang. Namun Lii Cu tidak memberinya karena memang tak punya uang sepeser pun. Si pengemis tersebut memaki Lii Cu sebagai orang yang kikir. Namun Lii Cu tidak membalasnya dengan kemarahan. Bahkan Ia tetap memberikan senyuman.

Suatu kali Lii Cu pergi ke pasar dan membeli sebuah tempayan tembaga, namun keesokan harinya ia menyadari bahwa tempayan yang didapatnya adalah tempayan emas. Karena merasa bahwa benda tersebut bukan hak miliknya, Ia segera menukar kembali tempayan emas tersebut dengan tempayan tembaga.

Lii Cu tinggal di sekitar lereng gunung. Suatu hari saat sedang membaca buku tiba-tiba datang seorang gadis muda berparas elok dan menawan. Gadis ini hendak pulang ke rumah ibunya, namun karena malam sudah larut, ia meminta ijin untuk menginap. Pada malam harinya gadis ini berusaha menggoda Lii Cu. Namun Lii Cu tetap hening tak tegoda! Akhirnya gadis itu pun pergi dengan perasaan hormat atas kesucian hati Lii Cu.

Suatu hari rumahnya diincar oleh perampok, sehingga hampir semua barang dibawa pergi. Lii Cu tetep berhati besar dan lapang, berlaku wajar dan tak merasa sedih akan kehilangan ini. Dengan tenang Ia melanjutkan pekerjaannya bercocok tanam di belakang rumah. Saat mencangkul, Ia menemukan sebuah peti berisikan batangan emas. Lii Cu tidak merasa tertarik, lalu Ia mengguburkannya kembali seolah tidak pernah menemukan apapun disana.

Ketika Lii Cu berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang penjual obat. Penjual obat tersebut menawarkan sebuah obat istimewa, apabila seseorang meminum obat tersebut, ia akan langsung meninggal dunia namun pada kehidupan selanjutnya akan mendapatkan kebebasan abadi. Tak seorang pun yang ingin meminumnya, karena takut mati. Namun demi mendapatkan jalan kebebasan, Lii Cu rela mati. Ia langsung membeli dan meminumnya, namun anehnya Ia tetap bertahan hidup.

Dalam suatu kesempatan lain, Lii Cu melindungi sekawanan domba dari serangan seekor harimau. Ia merentangkan badannya dihadapan harimau ini untuk direlakan, namun harimau yang buas tadi malah berbalik lari.

Suatu ketika tanggul di desa bocor. Apabila dibiarkan, tanggul ini akan jebol, dna akhirnya akan membanjiri seluruh desa. Tak seorang pun berani memperbaiki tanggul ini. Masyarakat malah sibuk mempersiapkan pengungsian ke daerah lain. Lii Cu seakan tak memperhatikan keselamatan dirinya, dengan tenang Ia berjalan menerobos arus yang sangat deras. Akhirnya seluruh warga desa terhindar dari bencana banjir.

Tibalah saatnya setan-setan yang mengaku sebagai karma penagih hutang datang kepadanya. Lii Cu mengetahuinya, lantas merelakan dirinya untuk ditagih. Di dalam kesendiriannya Ia tak merasa gentar menghadapi roh-roh jahat yang menyerangnya. Di malam yang lain muncul mahkluk yang mengerikan. Mahkluk ini menuntuk bahwa ia dibunuh oleh Lii Cu pada kehidupan yang lampau, dan kini datang untuk membalas dendam. Namun berkat ketulusan dan jasa pahala yang telah diperbuatnya selama ini, karma-karma buruk tersebut tak dapat mencelakai Lii Cu.

Akhirnya datanglah Cong Li Chiien menyampaikan pesan untuk Lii Cu, "Saya telah mengujimu berkali-kali namun pribadimu sungguh kokoh tak tergoyahkan. Hanya sayang pahalamu belum cukup. Sekarang aku akan mengajarkan kepadamu 'Ilmu sakti emas-perak' yang dapat merubah besi menjadi emas, sehingga engkau kelak dapat menyelamatkan umat manusia. Kelak dengan kesempurnaan pahala, tercapailah kesuciaan.'

Lii Cu menjawab, "Aku tak sudi mempelajarinya, karena itu hanya akan mencelakai umat manusia!". Ternyata kata-kata Cong Li tadi juga merupakan ujian baginya. Cong Li kagum atas kepribadian Lii Cu. "Begitu bulat tekadmu! Semua pahala sudah disini!". Berpancarlah kepribadian Lii Cu yang hening, tiada ego, tiada keserakahan, jiwa nan lugu polos. Sejak itu Beliau terus mengembara untuk menyelamatkan umat manusia.

Setelah wafat, Lii Cu mencapai Parinibbana dengan gelar Bodhisatva Pelindung Dharma. Dalam ritual kebaktian Aliran Maitreya, kita bersujud kepada Beliau sebagai salah satu dari Ke Wei Fa Lii Cu ( Para Bodhisatva Penegak Hukum ).

No comments: